More About Me...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc. Orci at nulla risus ullamcorper arcu. Nunc integer ornare massa diam sollicitudin.

Another Tit-Bit...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc.

Pemimpin Kultural

\\

Manusia adalah makhluk yang lebih bersifat kultural

dari pada natural, berarti selalu merencanakan kehidupan yang lebih baik. Berbudaya berarti mencintai perubahan, berbudaya berarti selalu berada dalam kehidupan yang mengalir. Dalam pembangunan, manusia selalu menggunakan kemampuan dirinya untuk memilih dan memilah mulai langkah mana ia harus melangkah : Edmund Leach.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mendedikasikan dirinya untuk kepentingan umum, ia senantiasa berupaya untuk menjadi contoh dan teladan yang terdepan, agar setiap orang yang dipimpinnya terdorong untuk melakukan hal-hal yang benar. Kesadaran pemimpin akan hal ini perlu untuk selalu ditumbuhkan melalui kepekaan nurani yang bersih yang ada pada setiap diri pemimpin, mengingat budaya kita lebih pada budaya paternalistik di mana rakyat selalu melihat dan meniru apa yang dilakukan oleh pemimpinnya.

Seorang pemimpin juga harus menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang lebih bersifat kultural, yaitu makhluk yang selalu berupaya untuk merencanakan hal yang baik, mencintai sebuah perubahan dan perubahan itu tentu perubahan paradigma yang baik, yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dengan suatu landasan moral dan etika yang baik.

Salah satu indikasi bahwa seorang pemimpin adalah pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik adalah pemimpin yang peka akan kondisi masyarakatnya, dan selalu menerima setiap kritikan untuk dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyaraktnya, dengan kesadaran semacam ini maka paradigma kolot bahwa pemimpin harus menunjukkan kekuasaannya di atas hukum akan tereliminasi secara natural, yang pada akhirnya akan memunculkan suatu paradigma baru bahwa kekuasaan adalah sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan, yang menjelma secara nyata di tengah kehidupan masyarakat.

Kesadaran kultural juga akan dapat memposisikan pemimpin yang kuat, pemimpin yang tidak cengeng di tengah-tengah kritikan terhadap dirinya, pemimpin yang cengeng adalah pemimpin yang menolak untuk dikritik dan cendrung menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghantam siapa saja yang mengkritiknya. Secara tegas Presiden SBY menyatakan bahwa “luar biasa yang harus kita lakukan di tengah kebahagiaan orang yang senang mencerca. Saya tak ingin ada yang cengeng, rakyat ada yang sabar, ada yang tidak. Ada yang membantu ada yang menyalahkan. Itu tak boleh melemahkan hati. Rakyat tahu siapa yang bekerja dengan betul, siapa yang hanya menyalahkan” (kompas, tanggal 19 September 2007, hal 15), kalau dicerca saja tidak boleh cengeng apa lagi menghadapi sebuah kritik, padahal kritik itu diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam kepemimpinan.

Sebagai salah satu contoh konkrit mengenai pemimpin yang memiliki sifat kultural adalah Umar bin Khotob, ketika ia dicerca secara langsung oleh warganya yang menderita kelaparan, Umar menangis dan kemudian memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada warganya tadi dan ia selalu intropeksi diri atas segala apa yang ia perbuat untuk rakyatnya, Umar juga sosok yang senang mendapat kritikan, padahal ia dikenal sebagai pemimpin yang keras dan tegas, misalnya ia tersenyum dan bangga pada seorang pemuda yang mengancamnya dengan kata-kata yang keras “jika Umar menyimpang maka akan aku luruskan dengan pedangku”. Umar juga pernah mendapat kritikan yang mengarah pada dugaan bahwa ia telah melakukan korupsi melalui kekuasaan yang ia miliki dan kritikan itu datang dari seorang Abdurahman bin ‘Auf “ hai Umar, aku tidak akan mendengar Khutbahmu sebelum engkau jelaskan tentang baju yang kamu pakai”, luar biasa umar menjawab dengan santun mengenai kritikan itu, yang membuat semua orang terpuaskan dengan jawabannya, padahal bisa saja Umar menghukum setiap orang yang mengkritik dan mencercanya dengan kekuasaan yang ia miliki, tapi Umar adalah pemimpin yang bijak yang memiliki sifat kultural yang baik, yang menempatkan kekuasaan adalah “amanah dan hukum adalah panglima untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan keadilan bagi setiap masyarakat. Umar juga seorang pemimpin yang tidah pernah kompromi dengan segala bentuk KKN, Umar menolak dengan tegas usulan para penasihatnya agar mengangkat salah seorang putranya untuk menjadi pejabat pada pemerintahan yang ia pimpin.

Pilkada dan Pemimpin yang Bersifat Kultural

Tak lama lagi, beberapa daerah di wilayah Propinsi Banten akan menyelenggarakan pesta demokrasi melalui ajang pemilihan Kepala Daerah di tingkat II yaitu Kota dan Kabupaten, dalam ajang ini akan muncul para calon yang diusung oleh partai-partai politik tertentu atau sebagai calon independen yang merupakan orang-orang baru bahkan incambent.

Para calon itu biasanya memaparkan visi dan misinya jika ia terpilih, dan dapat dipastikan mereka akan menebar janji-janji politik tentang kesejahteraan, pendidikan gratis, kesehatan gratis bagi warga tidak mampu dan segudang janji lainnya, yang biasanya tak sesuai dengan kenyataan ketika ia benar-benar memimpin kelak. Untuk itu setiap rakyat harus benar-benar dapat menguji dan mengukur untuk kemudian menentukan mana pemimpin yang memiliki sifat kultural mana yang tidak memiliki sifat kultural.

Ukuran-ukuran dasar dan penting untuk dapat menentukan bahwa seorang calon pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik adalah ia tidak memberikan suatu materi atau sejenis pemberian pada saat kampanye, terlebih memberikan sejumlah uang yang dikenal dengan “Serangan fajar”. Pemberian semacam ini, apapun bentuknya merupakan bentuk lain dari sogokan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi secara etimologis (corruptus atau corruptio) yang sesungguhnya ini juga merupakan pendidikan korupsi atau dengan kata lain rakyat sedang diajari untuk korupsi, yang pada gilirannya nanti ia akan memintanya kembali dari rakyat dalam bentuk pengkebirian terhadap hak-hak rakyat yang seharusnya ia penuhi dengan baik.

Calon-calon pemimpin yang memberikan sejumlah pemberian pada saat ia kampanye untuk mempengaruhi masyarakat pemilih biasanya tidak akan tahan terhadap kritikan apalagi cercaan, ia akan dengan senang hati dan jumawa untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghantam mereka yang mengkritik dan mencercanya, ia akan menjelma menjadi pemimpin yang cengeng dan tidak amanah.

Sudah saatnya setiap kita menjadi orang yang cerdas untuk mencari dan memilih pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik, yang menghendaki perubahan serta mencintai kebenaran dan keadilan, dan selalu memikirkan kepentingan rakyat yang dipimpin bukan mengedepankan kepentingannya sendiri atau kepentingan golongannya, pemimpin yang bersifat kultural akan berpijak pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bukan mengedepankan kekuasaan untuk menakut-nakuti rakyat, dengan pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik maka akan dapat dirasakan kesejahteraan dan keadilan dalam ridhoNYA, Insya ALLAH.




0 comments:

Post a Comment



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent