
KEWIBAWAAN HUKUM MELALUI PROSES PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA
Abstract
Good law enforcement is a longing for everyone. With a good law enforcement, law dignity able to endured directly to community where function of law become reality in the middle of community and it’s no longer as an idea.
Success of law enforcement is depended on three basic elements of law, namely existences of law, law enforcer and good awareness. By then, independency of law will be able to reach other three aspects of law enforcement, namely: legal certainty, fairness and usefulness of law.
Those aspects will be able to put concretely the meaning of equality before the law, as a manifestation of Constitution 1945, who put Indonesia based on law either than authority. So that, the idea of state law has to be proven materially through good law enforcement based on rules of law.
Keyword: Law enforcement, Law enforcer, Equality before the law.
I . Pendahuluan
Penegakkan hukum yang baik merupakan dambaan setiap orang, karena dengan penegakan hukum yang baik tersebut kewibawaan hukum akan dapat dirasakan dan kepastian hukum, kemanfaatan serta keadilan yang merupakan elemen penting dari penegakkan hukum tidak lagi hanya sebuah cita-cita.
Penegakan hukum adalah usaha melaksanakan sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, memulihkan hukum yang dilanggar supaya ditegakkan kembali, pemulihan dilaksanakan dengan pemberian sanksi.[1]
Pemulihan yang dilanggar dengan pembeban sanksi, merupakan hal yang sejalan dengan asas-asas psikis dalam hukum pidana, sebagaimana yang ditegaskan oleh Von Feuerbach bahwa undang-undang pidana diperlukan, untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum. Tetapi agar pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana.[2]
Jika diperhatikan rumusan penegakkan hukum dan ajaran paksaan psikis di atas maka terdapat unsur penting dalam rumusan tersebut, yakni pelaksanaan penegakkan hukum dan tiap-tiap pelanggar. unsur pertama pelaksanaan penegakkan hukum tentu melibatkan aparat penegak hukum, artinya penegak hukum harus memahami hukum dan bagaimana hukum itu ditegakkan sehingga tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan melanggar kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Unsur kedua ialah tiap-tiap orang , dalam hal ini tiap orang tanpa kecuali termasuk aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam unsur yang pertama artinya sanksi harus dapat dijatuhkan pada si pelanggar sekalipun pelaku adalah aparat penegak hukum. Jadi tidak ada alasan bagi terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tanpa adanya sanksi, karena hukum seharusnya dapat ditegakkan dengan baik untuk menjaga kewibawaan hukum, di mana dalam undang-undang Dasar 1945 (setelah perubahan) ada jaminan terhadap persamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[3]
Penempatan rumusan bahwa kedudukan setiap orang adalah sama dalam pandangan hukum, tentu memiliki makna penting dalam suatu upaya bagi proses penegakkan hukum, yaitu diperhatikannya aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, hal ini sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Sudikno Mertokususmo :[4]
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku: pada dasarnya tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharap dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat, sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakan timbul keresahan di dalam masyarakat. Unsur ketiga adalah keadilan masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanan atau penegakkan hukum harus adil.
Proses penegakkan hukum tidak boleh menyampingkan ketiga aspek penting tersebut, karena jika ketiga aspek itu dikesampingkan maka akan terjadi pelanggaran dalam penegakkan hukum. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, kepastian hukum akan mencapai tujuannya yaitu kemanfaatan dan kemanfaatan akan menciptakan keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Keadilan memang tidak selalu mendatangkan persamaan sebagaimana persamaan hukum dalam konteksnya yaitu kepastian hukum, karena kepastian hukum memandang semua orang sama dalam pandangan hukum, sementara keadilan dapat mempersepsikan bahwa adil untuk si A belum tentu adil untuk si B, namun demikian adil dalam persepektif hukum justru terletak dalam kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
Jadi yang dimaksud dengan keadilan dalam persepektif hukum adalah suatu nilai yang merupakan titik keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum. Dalam ketentuan undang-undang pidana kepastian tampak dari adanya perkataan “barang siapa melakukan tindak pidana….(tertentu), sedangkan kesebandingan hukum tampak dari adanya perkataan “dipidana……setinggi-tingginya.[5]
Dengan demikian tampak jelas bahwa keadilan dalam artian hukum adalah berbeda dengan pengertian hukum yang dipersepsikan oleh masyarakat Namun demikian masyarakat pada hakikatnya akan dapat merasakan keadilan dalam artian hukum tersebut manakala hukum dapat dijalankan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yaitu hukum tidak memandang siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum melainkan sangsi hukum dapat dijatuhkan pada siapapun yang telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sekalipun yang melakukan perbuatan melawan hukum itu adalah aparat penegak hukum. Maka kerangka penegakkan hukum dengan orientasi pencapaian aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, akan dapat dicapai dengan menumbuhkembangkan kesadaran dan pemahaman hukum yang baik oleh para penegak hukum.
II. Aspek Penataan Hukum dan Perundang-undangan yang Baik
Terwujudnya penegakkan hukum yang baik, ditentukan oleh aspek dasar yang menjadi ruh dalam upaya penegakkan hukum (law enforcement) yaitu peraturan hukum (undang-undang yang baik), penegak hukum yang baik dan kesadaran hukum masyarakat yang baik, dalam hal ini Baharudin Lopa menjelaskan bahwa :[6] penegakan hukum dan keadilan akan tergantung kepada tiga komponen pokok, yaitu (1) diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, (2) adanya aparat penegak hukum yang professional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral yang tinggi, dan (3) adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum tersebut.
Ketiga komponen pokok dalam penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diungkapkan oleh Baharudin Lopa di atas merupakan satu kesatuan yang utuh pula sebagaimana aspek penegakan hukum itu sendiri yang hendak dicapai, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Dalam hal suatu peraturan atau perundang-undangan yang baik Suparman Usman berpendapat bahwa :[7]
Hukum hanya mungkin berlaku efektif dalam masyarakat apabila hukum itu secara filosofis mencerminkan nilai-nilai yang secara filososfis diyakini kebenarannya oleh masyarakat tempat hukum itu diberlakukan. Sehubungan dengan itu, apabila ada produk hukum yang tidak sejalan atau bertentangan nilai-nilai filosofis yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, maka konsekuensinya hukum itu pasti tidak bisa dilaksanakan sebagaimana seharusnya hukum itu berlaku. Bahkan mungkin hal itu akan menjadi pemicu pertentangan antara rakyat dengan penguasa, sebab rakyat memadang bahwa penguasa telah menyimpang dari nilai-nilai kebenaran yang diyakininya, sebaliknya apabila hukum itu mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka hukum itu akan mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat.
Jadi hukum yang baik adalah hukum yang selaras dengan nilai-nilai filosofis masyarakat, jika tidak maka hukum itu merupakan salah satu pemicu pertentangan antara masyarakat dengan penguasa. Dalam pandangan kriminologi modern hukum yang tidak selaras dengan pandangan atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat merupakan sebab-sebab timbulnya kejahatan , sebagaimana yang diungkapkan oleh aliran kritis yang dipelopori oleh Taylor dan Joek Young yang memandang bahwa Negara adalah penyebab kejahatan dan seharusnya bertanggung jawab atas merebaknya kejahatan dalam masyarakat. Perundang-undanganlah yang menyebabkan kejahatan, di dalam perkembangan kejahatan maka peranan Negara yang nota bene pengatur ketertiban dan keamanan dalam masyarakat sangat besar sehingga setiap proses pembentukan perundang-undangan (pidana) secara langsung atau tidak langsung merupakan proses kriminalisasi (baru).[8]
Pandangan kriminologi ini tampaknya bertolak dari pemikiran bahwa Negara membuat aturan (undang-undang) apa dan melindungi siapa, artinya bahwa seharusnya Negara membuat aturan yang sesuai dengan filosofis masyarakat dan perkembangan zaman sehingga hukum mampu dipersepsikan dengan baik oleh masyarakat. Persepsi yang baik akan melahirkan kesadaran hukum yang baik oleh masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat yang baik akan mampu menciptakan efektifitas hukum dalam pelaksanaanya atau pemberlakuannya yang baik dalam mayarakat.
Contoh yang riil dalam masyarakat bangsa Indonesia mengenai hukum yang baik yang sesuai dengan filososfi masyarakat adalah hukum yang diterapkan di Aceh, masyarakat Aceh menghendaki diberlakukannya syariat Islam, sehingga hukum yang tidak didasarkan dalam pondasi hukum islam yang dipaksakan oleh penguasa yang tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Aceh, mendapatkan pertentangan yang luar biasa dari masyarakat Aceh terhadap penguasa.
Pelaksanaan hukum atau perundang-undangan yang baik sesungguhnya telah mendapat perhatian yang khusus dari masyarakat internasional. Dalam berbagai kongres PBB yang diselenggarakan lima tahun sekali mengeneai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” sering dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa Negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial pada umumnya bersifat “obsolute and unjust” telah usang dan tidak adil serta “outmoded and unreal” Sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem hukum pidana di beberapa Negara yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh kongres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan (“a contributing factor to the increase of crime).[9]
Untuk menciptakan tatanan hukum yang baik sehingga hukum itu dapat dilaksanakan dengan baik yang dilandasi oleh kesadaran hukum masyarakat yang baik, maka seminar pembangunan hukum nasional VIII tahun 2003 di Kuta Denpasar menegaskan bahwa ;
Menjadikan ajaran agama sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhlak mulia sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkret dalam muatan kebijakan pembangunan hukum nasional yang dapat :
§ Memperkuat landasan budaya keagamaan yang sudah berkembang dalam masyarakat;
§ Memfasislitasi perkembangan keberagamaan dalam masyarakat dengan kemajuan bangsa; dan
§ Mencegah konflik sosial antar umat beragama dan meningkatkan kerukunan antar umat bangsa.[10]
III. Peran Aparat Hukum Dalam Penegakkan Hukum
Terkait dengan penerapan hukum yang baik dan yang sejalan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka yang dapat menciptakan kesadaran hukum yang baik dalam masyarakat adalah peran aparat penegak hukum.
Peran penegak hukum guna tercapainya upaya penegakkan hukum yang baik merupakan hal yang sangat penting, hal ini sejalan dengan amanat GBHN sebagaimana diatur dalam dalam ketetapan MPR No. II/1998 sebagai berikut:[11] Dalam rangka meningkatkan penegakkan hukum perlu terus dimantapkan kedudukan dan peranan dan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing, serta terus ditingkatkan kemampuan dan kewibawaannya dan dibina sikap perilaku dan keteladanan para penegak hukum sebagai pengayom masyarakat yang jujur, bersih, tegas, dan adil.
Harapan negara melalui lembaga-lembaga pengelola negara (pemerintah secara luas) melalui GBHN (sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945) sangatlah wajar dan tidak berlebihan mengingat sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang masih terlalu jauh dari dari apa yang diharapkan, padahal peranan penegak hukum merupakan aspek yang sangat penting bagi keberhasilan sebuah law enforcemet yang dapat menempatkan hukum dalam kewibawaannya.
Peranan Penting penegak hukum dalam menciptakan hukum yang berwibawa tercermin dalam ungkapan Taverne yang sangat terkenal dalam teori hukum:[12] Geef me geode rechters, goede rechter commissarisson, goede officeren van justitie en goede politie ambetenaren, en ik zal met een slecht wet boek van strafprocesrecht het geode bereiken (berikan kepada saya hakim-hakim yang baik, hakim-hakim komisaris yang baik jaksa-jaksa yang baik dan petugas-petugas polisi yang baik dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk (namun) saya akan dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Ungkapan Taverne tersebut memposisikan peranan penegak hukum dalam posisi yang paling penting, strategis dan sangat sentral dalam sebuah penegakan hukum, karena melalui peran penegak hukumlah, hukum (undang-undang) dimaksimalkan atau akan efektif pemberlakuannya, sekaligus juga sebagai motivator atau stimulator bagi tumbuh kembangnya kesadaran hukum masyarakat, adalah hal yang tidak berlebihan pula apabila kemudian Soerjono Soekanto menyatakan bahwa:
Hukum dapat merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa (prestigeful)
2. Hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filososfis maupun sosiologis
3. Penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi kepatuhan terhadap hukum (tulisan tebal dan miring oleh penulis)
4. Diperhatikannya pengedepan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat
5. Para penegak hukum dan pelaksanaan hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola prilakunya (tulisan tebal dan miring oleh penulis)
6. Sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum
7. Perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.[13]
Peran sentral para penegak hukum dalam suatu penegakkan hukum merupakan suatu hal yang harus diperhatikan dan disadari dengan baik oleh para penegak hukum. Sehingga pola-pola yang menyimpang dan bertentangan dengan aturan hukum harus dapat dihindari semaksimal mungkin. Dengan demikian tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban umum tidak lagi hanya sebuah cita-cita yang abstrak dan bersifat sloganistik belaka, yang pada akhirnya menciptakan antipati warga masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang bermuara pada ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Untuk menciptakan kesadaran aparat penegak hukum pernting kiranya merenungkan kriteria penegak hukum sebagaimana yang diterangkan oleh R.E. Barimbing bahwa :[14]
Pertama, mengetahui batas-batas wewenangnya, setiap penegak hukum (dalam hal ini polisi) harus taat dan mengetahui dengan pasti sampai di mana batas-batas wewenangnya, sehingga ia tidak dituduh melakukan perbuatan melanggar hukum karena melampaui batas-batas wewenang seorang Polisi. Tindakan sewenang-wenang dari Polisi dapat menimbulkan rasa benci masyarakat terhadap Polisi. Kedua, memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum. Polisi harus mengetahui perkembangan undang-undang yang berlaku dalam memahami liku-liku hukum pidana, disamping hukum-hukum lainnya yang ada kaitannya dengan tugas Polisi. Menghargai dan menegakkan hukum demi kebenaran dan keadilan melalui pembuktian-pembuktian yang sah. Ketiga, tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya. Kecendrungan untuk mempunyai uang banyak merupakan gejala umum dalam masyarakat modern (termasuk juga polisi) guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Polisi dalam posisinya sebagai penegak hukum selalu dimungkinkan dan dihadapkan pada situasi konflik yang sulit antara “uang” dan “tugas suci” yang diembannya. Ketebalan mental seoarang Polisi diuji: apakah ia akan menerima imbalan uang yang disodorkan padanya untuk mempengaruhi keputusan-keputusannya dalam menegakkan hukum. Keempat, mempunyai kebanggaan terhadap profesinya. Setiap anggota Polisi harus menyadari di dalam hati sanubarinya bahwa ia merupakan seorang warga negara utama yang terpilih, yang harus menjunjung tinggi sikap dan kehormatan korps kepolisian. Petugas polisi harus menyadari bahwa pekerjaan yang diberikan kepadanya merupakan suatu kehormatan yang diberikan oleh negara dan menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk menciptakan situasi tertib dan aman.
Kriteria sebagaimana yang diberikan oleh R.E. Barimbing tersebut di atas jika diperhatikan dan ditarik garis lurus yang tegas, maka kriteria tersebut tidak hanya berlaku bagi lembaga kepolisian saja tetapi juga berlaku bagi lembaga-lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kehakiman.
Melalui kriteria tersebut timbul suatu pertanyaan yang sangat mendasar dan penting (krusial), yakni bagaimana jika pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu penegakan hukum justru dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri ? Sebagai negara hukum, seharusnya tidak ada ruang untuk pelanggaran hukum terutama yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Jika pelanggaran itu dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka sanksi yang keras dan tegas harus dijatuhkan sehingga dengan demikian diharapkan komitmen dan moralitas yang melekat pada diri aparat penegak hukum akan tetap terjaga, dan tidak ada perlakuaan yang khusus (special treatment) bagi para pelanggar hukum.
Dalam kaitan Komitmen sebagaimana tersebut di atas, J.E. Sahetapy menegaskan bahwa dalam upaya menegakkan hukum diperlukan sekali komitmen dan moral aparat penegak hukum, perlu ada tindakan yang tegas terhadap penegak hukum yang tidak benar.[15]
Dengan sanksi yang tegas bagi aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum, diharapkan mampu meminimalkan pelanggaran hukum dalam upaya penegakkannya dan wibawa serta kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparat penegak hukum akan meningkat.
IV. Perspektif HAM Dalam Proses Penegakkan Hukum
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni sejak zaman Kolonial Belanda penegakkan hukum di Indonesia masih menitikberatkan pada pengakuan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 164 het Herzien indonesische Reglement (HIR) bahwa yang disebut alat bukti, yaitu : bukti surat, bukti saksi, sangka, pengakuan, sumpah.[16] Pengakuan dalam suatu proses penegakkan hukum selalu berada dalam konotasi yang negatif, artinya bahwa ada peluang untuk menjadikan seorang tersangka mengaku atau mengakui, sehingga dalam kondisi yang demikian hak-hak seseorang yang diduga telah melakukan pelangggaran hukum dikesampingkan. Kenyataan ini merupakan bagian dari diberlakukannya asas inkisitor, yaitu tersanggka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut dalam HIR untuk pemeriksaan pendahuluan.[17]
Pada masa berlakunya asas Inkisitor ini dianut, terdapat suatu model pemeriksaan yang diterapkan yang menitikberatkan pada proses yang cepat dan efektif yaitu model Crime Control (CC) yang lebih mengedapankan asas praduga bersalah (presumption of guilty), bahwa tersangka diangap telah melakukan kesalahan sebelum ada putusan hakim yang bersifat tetap (inkracht van gewijsde). Dalam hal ini Barimbing menegaskan bahwa model Crime Control (CC) titik berat bukan pada prosedur hukum acara yang ketat, melainkan pada output yang cepat dan efektif. Prosedur yang sedemikian didukung oleh asas praduga bersalah (Presumption of Guilty) dengan segala bentuk tindakan yang pada hakikatnya menghalalkan cara.[18] Model pemeriksaan yang menggunakan sistem Crime Control sangat memungkinkan terjadinya pemerkosaan terhadap hak-hak tersangka.
Oleh karena model Crime Control (CC) ini tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai salah satu ciri negara beradab, maka model tersebut diganti dengan Due Process of law dengan menggunakan asas accusatoir. Yang dimaksud asas accusatoir adalah tersangka dipandang sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan.[19] Pembuktianpun tidak lagi menekankan pada pengakuan tetapi pada keterangan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP, bahwa alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Pada dasarnya keterangan memiliki perbedaan dengan pengakuan. Keterangan dapat berarti 1. uraian dan sebagainya untuk menerangkan sesuatu; penjelasan, 2. sesuatu yang menjadi petunjuk (seperti bukti-bukti, tanda-tanda dan sebagainya’ alasan-alasan, segala sesuatu yang sudah diketahui atau yang menyebabkan tahu.[20]
Model DPL (due process of law) sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi individu (individual righrts) untuk hidup bebas dalam dalam masyarakat dibandingkan hidup bebas dalam sangkar, oleh karena dalam model DPL dikenal dan diakui standar baku dalam acara yang dilandaskan kepada asas praduga tak bersalah, (presumption of innocence. Dianutnya model DPL yang dilandasai dengan asas accusatoir seharusnya tidak ada alasan bagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Untuk itu aparat penegak hukum harus menghormati hak-hak yang dimiliki oleh tersangka yang eksistensinya dijamin dalam KUHAP.
Namun demikian pemberlakuan asas accuasatoir yang mengedepankan hak-hak asasi individu ini juga tidak dapat dijalankan sepenuhnya, hal itu tersirat pada pendapat Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana dalam suatu negara itu menganut sistem yang murni accusatoir dan murni inquisitoir melainkan ia mengandung suatu campuran dari kedua-duanya.[21] Namun demikian untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum maka perlu diperhatikan dan dijalankan asas-asas pembatas yang bersifat universal untuk menghindari pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam praktik penegakkan hukum. Asas-asas itu paling sedikit adalah :[22]
(1) Asas legalitas
(2) Asas negara hukum
(3) Asas penghormatan terhadap martabat kemanusiaan
(4) Asas bahwa segala pembatasan pelaksanaan HAM merupakan perkecualian
(5) Asas persamaan dan non diskriminasi
(6) Asas non rektroaktivitas (peraturan tidak berlaku surut)
(7) Asas proporsinalitas
Penerapan asas-asas tersebut akan mampu menciptakan kesadaran akan kepentingan-kepentingan masyarakat, negara dan individu. Penerapan asas-asas itu juga akan mampu menghindari tipe penegakkan hukum yang represif yang akhirnya bermuara pada penegakkan hukum yang bertanggung jawab yang tujuannya adalah keadilan substantif. Indikasi dari hubungan hukum dengan keadilan substantif antara lain :[23]
(1) Tujuan hukum harus merupakan kombinasi anatara perlindungan masyarakat, kejujuran prosedural, dan keadilan substantif.
(2) Diskresi yang terkendali dan tidak bersifat oportunis, dibatasi hukum serta berorientasi pada tujuan secara sistematik
(3) Penggunaan paksaan secara ekstensif dengan kendali yang lemah harus dikurangi, kendali hukum yang jelas serta penggunaan insentif yang luas dikembangkan
(4) Menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara moralitas komunal, moralitas keseimbangan dan moralitas sipil
(5) Integrasi antara aspirasi hukum dan politik
(6) Kritik jangan diartikan semata-mata sebagai disloyalty
Di dalam praktik penegakkan hukum banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan kepentingan hukum yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, karena dalam praktik penegakkannya masih menggunakan cara-cara lama yang sesungguhnya bertentangan dengan aturan hukum dan Hak Asasi Manusia.
Bentuk-bentuk pelanggaran itu misalnya terjadi pada pemeriksaan saksi atas suatu perkara pidana, seorang saksi harus mengalami bentakan-bentakan yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaannya. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa saksi memberikan kesaksian yang dinilai berbelit-belit sehingga mempersulit proses pemeriksaan.
Bentakan-bentakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyiksaan yang sangat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di mana di dalam pasal 1 ayat (4) ditegaskan bahwa :[24]
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat baik jasmani ataupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau pihak ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit itu atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
Pemaksaan dalam bentuk bentakan terhadap saksi tidak diperkenankan oleh hukum sekalipun itu dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya dalam keadaan “perang” (sesuai denganpenjelasan pasal tersebut). Kalau dalam keadaan tertentu saja tidak diperbolehkan melakukan bentakan-bentakan sehingga menimbulkan rasa sakit terhadap kejiwaannya, apalagi dalam keadaan normal. Akibat lain dari bentakan terhadap saksi dalam tingkat pemeriksaan awal mengakibatkan seseorang merasa keberatan untuk menjadi saksi sekalipun seseorang tersebut mengetahui suatu peristiwa pidana yang terjadi, kondisi ini akan menimbulkan hambatan bagi kepentingan pemeriksaan yang harus dijalankan untuk mengungkap suatu kasus, sehingga proses penegakan hukum juga menjadi terhambat.
Agar saksi dalam memberikan keterangan tidak berbelit-belit, maka salah satu upaya yang harus dilakukan oleh “penyidik” dalam upaya mendapatkan keterangan saksi adalah dengan pendekatan ajaran paksaan psikis yakni dengan menggunakan perangkat pasal 242 KUHP :[25]
(1) Barangsiapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Penggunaan pasal tersebut dalam tahap pemeriksaan terhadap saksi dalam suatu perkara (pidana) dimaksudkan agar saksi dapat memahami kewajibannya dalam memberikan kesaksiaan, dengan demikian diharapkan setiap saksi dalam memberikan keterangan tidak berbelit-belit dan tidak ada upaya memberikan kesaksian berdasarkan keterangan orang lain yang dirangkai dalam kata-kata “katanya” atau “kata si A” dan sebagainya. Karena apabila saksi memberikan keterangan yang salah dalam perkara pidana maka ia akan dihadapkan pada sanksi pidana.
Pelanggaran-pelanggaran lain dalam proses pemeriksaan tersangka terkait dengan penegakkan hukum adalah masih ditemuinya peristiwa pemukulan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, hal ini juga bertentangan dengan pasal 422 KUHP yang menegaskan bahwa seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana, menggunakan sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Menurut R, Sugandhi dalam penjelasannya mengenai pasal tersebut menyatakan bahwa pegawai negeri yang dalam perkara pidana menjalankan paksaan, baik untuk memaksa orang supaya mengaku, maupun untuk membujuk orang supaya memberikan keterangan, dipidana dengan pidana selam-lamanya empat tahun. Pelanggaran ini dalam perkara korupsi diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.[26]
Apabila bentuk-bentuk perintah dan larangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tersebut dipahami dan dilaksanakan dengan baik maka segala bentuk pelanggaran hukum dalam upaya menegakkan hukum akan dapat dihindari dengan baik.
Di samping pemahaman hukum yang baik perlu pula direnungkan oleh para penegak hukum kata-kata bijak Hegel “ Hidup ini teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang, oleh sebab itu, mari kita berbicara tentang kebenaran.[27]
[1] Muhammad Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cet. Ke II, 2001:144
[2] J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta,,Liberty, 1995:5
[3] Persandingan Undang-undang RI 1945, Lembaga Informasi Nasional, 2002:48
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta, Liberty, Cet. Ketiga, 2002:146.
[5] Purnadi Purbacaraka & Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab. Jakarta, CV. Radjawali, 1997:7.
[6] Suparman Usman, Hukum Islam. Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001:4
[7] Suparman Usman, Ibid, hlm. 2001:7
[8] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung, Refika Aditama, 2005 : 4
[9] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Persepektif Perbandingan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005:8
[10] Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 8
[11] Gatot Supramono, Masalah Penangkapan dan Penahanan dalam Tingkat Penyidikan Tindak Pidana Hak Cipta. Selayar, Pustaka Kartini, 1989:2
[12] Suparman Usman, Filsafat hukum dan Etika Profesi. Serang, Suhud Sentrautama, 2002: 144
[13] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1988 : 72
[14] R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum. Jakarta, Pusat Kajian Reformasi, 2001:190
[15] R.E. Baringbing, Ibid, hlm 195
[16] Mr. R. Tresna, Komentar HIR. Jakarta, Pradnya Paramita, 1996:141
[17] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia., Jakarta, CV. Sapta Artha Jaya, 1996:23
[18] R.E. Barimbing, Op.Cit. hlm 85
[19] Andi Hamzah, Op.Cit. hlm 8
[20] W.J.S. Poerwadinata, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 1976:1058
[21] Andi Hamzah, Op.Cit hlm. 102
[22] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang, Badan Penerbit Undip, 1995:63
[23] Muladi, Ibid, hlm 64
[24] Suparman Usman, Op.Cit, 2002:197
[25] Moeljatno, KUHP, Bumi Aksara, Jakarta, 1999: 89
[26] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya. Surabaya, Usaha Nasional, 1980:441
[27] Zaenal Abidin, Filsafat Manusia. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006 :71.
0 comments:
Post a Comment