
Mewaspadai Anemia Demokrasi
Jika diperhatikan secara seksama, Indonesia merupakan negara yang tersibuk dalam penyelengaraan pesta demokrasi melalui ajang pemilu, pilkada, dan pilpres. Ajang ini pada masa orde baru hanya ditemui lima tahun sekali, itupun hanya pada ajang pemilihan umum (pemilu).
Dalam pesta demokrasi itu berlaku istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, yang jika dipersempit bisa menghasilkan pengertian “rakyatlah yang menentukan”. Pada konteks inilah kemudian para calon menyadari betapa pentingnya suara rakyat untuk meloloskan tekadnya menjadi pemimpin. Begitu pentingnya kesadaran akan suara rakyat yang menentukan sehingga tekadnya untuk menjdi pemimpin berjalan mulus sesuai dengan yang diinginkan, maka tak jarang perilaku-perilaku menyimpang dari para calonpun mulai dilakukan, hanya sekedar untuk mendapatkan suara rakyat atau dukungan rakyat. Pada fase inilah gejala “anemia demokrasi” mulai dirasakan.
Fase selanjutnya adalah ajang pembelian suara rakyat melalui bermacam imbalan, janji dan sebagainya yang pada akhirnya rakyat tak dapat menggunakan akal sehatnya untuk menentukan mana yang benar mana yang salah. Kondisi ini sangat bisa terjadi di tengah-tengah perekonomian rakyat yang sulit. Alasan ekonomi menjadi celah yang sangat besar bagi tingkat kecurangan dalam suatu pemilihan. Pada fase inilah “anemia demokrasi” telah menyebar, yang jika dibiarkan maka, akan terjadi “virus demokrasi” yang mematikan.
Untuk menghindari “anemia demokrasi” yang setiap saat dapat ditebarkan maka, perlu keberanian dari setiap masyarakat pemilih untuk menolak setiap perilaku-perilaku curang. Kesadaran itu perlu ada dan harus selalu tumbuh dalam diri setiap pemilih. karena calon-calon pemimpin yang memberikan sejumlah pemberian pada saat ia kampanye untuk mempengaruhi masyarakat pemilih, biasanya tidak akan tahan pada kritikan apalagi cercaan. Ia akan dengan senang hati dan jumawa untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghantam mereka yang mengkritik dan mencercanya, ia akan menjelma menjadi pemimpin yang cengeng dan tidak amanah.
Saya pikir sudah saatnya setiap kita menjadi orang yang cerdas untuk mencari dan memilih pemimpin yang baik, bertanggung jawab, yang selalu menghendaki perubahan serta mencintai kebenaran dan keadilan, yang selalu memikirkan kepentingan rakyat yang dipimpin, bukan mengedepankan kepentingannya sendiri atau kepentingan golongannya.
Kolektifitas Moral
Demi suksesi pesta rakyat melalui pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah dan juga pemilihan presiden maka, kesadaran akan moralitas secara kolektif merupakan syarat yang harus dipenuhi, kolektifitas moral dari selurh lapisan masyarakat merupakan vitamin yang harus ada untuk menciptakan energi positif bagi demokrasi yang sehat. Hanya melalui demokrasi yang sehatlah penataan pemerintahan yang baik yang berbasis kerakyatan akan mudah dilaksanakan.
Demokrasi yang sehat akan melahirkan pemerintahan yang sehat, dan pemerintahan yang sehat akan mampu menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan demokrasi yang tidak sehat akan melahirkan pemerintahan yang tidak sehat. Jika pemerintahannya tidak sehat maka, kesejahteraan masyarakat merupakan mimpi yang sulit untuk menjadi suatu kenyataan, sebab suatu demokrasi yang tidak sehat akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak amanah yang akan menghisap hak-hak masyarakatnya.
Penghisapan hak-hak masyarakat itu biasanya dilakukan melalui pelayanan publik yang jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Agar tidak terjadi proses penghisapan hak-hak masyarakat maka, tidak boleh lagi masyarakat melakukan hal-hal yang tidak terpuji dalam menyalurkan hak politiknya dalam ajang pemilihan umum, pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden.
Salah satu wujud moralitas yang baik adalah masyarakat harus mau dan mampu mengambil bagian secara baik dan benar akan hak politiknya, dengan menyalurkan aspirasinya melalui saluran-saluran yang benar tanpa harus mencari keuntungan sesaat, yang pada akhirnya merugi untuk jangka waktu yang panjang. Menurut Aristoteles bahwa mereka yang tidak mengambil bagian dalam hal hak politik berarti dia bukan manusia melainkan binatang ataupun dewa.
Kita tentu bukan kedua hal yang digambarkan Aristoteles tersebut, untuk itu kita harus mengambil bagian dalam politik yang merupakan hak kita, dan segala bentuk perilaku menyimpang yang mengakibatkan “anemia demokrasi” harus dihindarkan. Semoga kita menjadi masyarakat yang cerdas dan bermoral, yang selalu mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden merupakan pintu-pintu pembuktian bahwa kita memang cerdas dan bermoral.
0 comments:
Post a Comment