More About Me...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc. Orci at nulla risus ullamcorper arcu. Nunc integer ornare massa diam sollicitudin.

Another Tit-Bit...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc.

SAIFUL JAMIL , POLITIK LATAH ?

Tampaknya tiru meniru sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dari keseharian masyarakat kita. Beberapa bukti empirik bisa dikedepankan sebagai suatu contoh yang menjadi kenyataan ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Misalnya meniru para tokoh agama kondang yang kemudian dijadikan modal untuk mendapatkan keuntungan komersial, sebut saja misalnya KH. Zaenudin M.Z. dan Aa Gim yang selalu ditirukan gayanya oleh selebritis yang kemudian si penirupun menjadi kondang bahkan lebih kondang dari yang ditirukan. Bahkan tak tanggung-tanggung peniruan juga sampai merambah pada pribadi-pribadi yang mengaku dirinya nabi tanpa dilandasi oleh pemahaman agama yang benar, yang akhirnya dapat menyesatkan orang lain yang sudah terlanjur mempercayai bahwa dirinya adalah seorang nabi.

Bukti-bukti empirik lainnya adalah peniruan terhadap hasil-hasil produk tertentu, padahal peniruan itu sangat membahayakan bagi orang lain, sehingga kemudian ini menjadi kasus hukum. Peniruan itu misalnya pada pelbagai produk makanan dan obat-obatan, sehingga ibu-ibu di Indonesia dipaksa harus jeli terhadap produk-produk yang ia beli demi kesehatan dan keselamatan keluarganya. Peniruan ini tampaknya juga didorong oleh kelatahan sosial yang tampaknya menjadi karakteristik bangsa Indonesia. Di mana seolah-olah dia akan menjadi berharga kalau bisa menirukan orang lain, tak peduli itu dapat merugikan orang lain termasuk orang yang ditirukannya.

Namun ternyata peniruan itu tidak berhenti pada bukti-bukti empirik tersebut diatas, karena ternyata dalam panggung politikpun terjadi peniruan-peniruan, setelah Rano Karno dan Dede Yusuf sukses menarik simpati masyarakat Tangerang dan Jawa Barat, kini giliran Saiful Jamil (artis Dangdut) meniru jalan yang sudah ditempuh oleh kedua tokoh dari kalangan artis tersebut. Tentu lain Rano Karno dan Dede Yusuf lain pula dengan Saiful Jamil, karena prestasi sosial diantara mereka juga sangat berbeda.

Politik latah.

Sesungguhnya keikutsertaan Saiful Jamil dalam dunia politik untuk memimpin Kota Serang ke depan adalah hal yang wajar dan bukan barang haram dalam dunia demokrasi. Karena semua itu menjadi hak politik bagi setiap orang untuk dipilih sebagai pemimpin dan memilih seorang pemimpin. Namun demikian yang menjadi persoalan adalah untuk menjadi seorang pemimpin ketenaran saja tidaklah cukup tetapi yang harus lebih diperhatikan adalah kemampuan dalam konteks kepemimpinan. Terlebih kota Serang adalah wilayah Banten yang sangat membutuhkan pemimpin yang islami yang tidak mengabaikan kemampuan dalam mengelola sumber daya alam yang ada di kota Serang demi kemakmuran masyarakat kota Serang.

Betul bahwa untuk menjadi pemimpin, seperti yang dikatakan oleh tokoh muda bangsa Indonesia yaitu Anas Urbaningrum adalah mereka harus dikenal, kemudian di suka seterusnya dicinta dan pada akhirnya dipercaya. Untuk tahap pertama tak dapat dielakkan bahwa Saiful jamil adalah artis muda yang cukup dikenal, tetapi persoalan selanjutnya apakah ia disuka, dicinta dan dapat dipercaya merupakan hal yang menurut saya ini masih membutuhkan waktu yang panjang dalam pembuktiannya. Tidak sesaat dan serba sim salabim ada kadabra.

Jika eksistensi sorang Saiful Jamil dalam dunia politik menuju pemimpin kota Serang hanya didasarkan pada aspek ketenarannya semata, tanpa dilandasi oleh aspek lain yang justru sangat penting untuk menjadi pemimpin, maka saya berfikir ini tak lebih dari politik latah atau dagelan politik melalui panggung PILKADA. Semoga tidak demikian.


Read more!

Pemimpin Kultural

\\

Manusia adalah makhluk yang lebih bersifat kultural

dari pada natural, berarti selalu merencanakan kehidupan yang lebih baik. Berbudaya berarti mencintai perubahan, berbudaya berarti selalu berada dalam kehidupan yang mengalir. Dalam pembangunan, manusia selalu menggunakan kemampuan dirinya untuk memilih dan memilah mulai langkah mana ia harus melangkah : Edmund Leach.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mendedikasikan dirinya untuk kepentingan umum, ia senantiasa berupaya untuk menjadi contoh dan teladan yang terdepan, agar setiap orang yang dipimpinnya terdorong untuk melakukan hal-hal yang benar. Kesadaran pemimpin akan hal ini perlu untuk selalu ditumbuhkan melalui kepekaan nurani yang bersih yang ada pada setiap diri pemimpin, mengingat budaya kita lebih pada budaya paternalistik di mana rakyat selalu melihat dan meniru apa yang dilakukan oleh pemimpinnya.

Seorang pemimpin juga harus menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang lebih bersifat kultural, yaitu makhluk yang selalu berupaya untuk merencanakan hal yang baik, mencintai sebuah perubahan dan perubahan itu tentu perubahan paradigma yang baik, yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dengan suatu landasan moral dan etika yang baik.

Salah satu indikasi bahwa seorang pemimpin adalah pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik adalah pemimpin yang peka akan kondisi masyarakatnya, dan selalu menerima setiap kritikan untuk dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar yang sangat dibutuhkan oleh masyaraktnya, dengan kesadaran semacam ini maka paradigma kolot bahwa pemimpin harus menunjukkan kekuasaannya di atas hukum akan tereliminasi secara natural, yang pada akhirnya akan memunculkan suatu paradigma baru bahwa kekuasaan adalah sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan, yang menjelma secara nyata di tengah kehidupan masyarakat.

Kesadaran kultural juga akan dapat memposisikan pemimpin yang kuat, pemimpin yang tidak cengeng di tengah-tengah kritikan terhadap dirinya, pemimpin yang cengeng adalah pemimpin yang menolak untuk dikritik dan cendrung menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghantam siapa saja yang mengkritiknya. Secara tegas Presiden SBY menyatakan bahwa “luar biasa yang harus kita lakukan di tengah kebahagiaan orang yang senang mencerca. Saya tak ingin ada yang cengeng, rakyat ada yang sabar, ada yang tidak. Ada yang membantu ada yang menyalahkan. Itu tak boleh melemahkan hati. Rakyat tahu siapa yang bekerja dengan betul, siapa yang hanya menyalahkan” (kompas, tanggal 19 September 2007, hal 15), kalau dicerca saja tidak boleh cengeng apa lagi menghadapi sebuah kritik, padahal kritik itu diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam kepemimpinan.

Sebagai salah satu contoh konkrit mengenai pemimpin yang memiliki sifat kultural adalah Umar bin Khotob, ketika ia dicerca secara langsung oleh warganya yang menderita kelaparan, Umar menangis dan kemudian memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada warganya tadi dan ia selalu intropeksi diri atas segala apa yang ia perbuat untuk rakyatnya, Umar juga sosok yang senang mendapat kritikan, padahal ia dikenal sebagai pemimpin yang keras dan tegas, misalnya ia tersenyum dan bangga pada seorang pemuda yang mengancamnya dengan kata-kata yang keras “jika Umar menyimpang maka akan aku luruskan dengan pedangku”. Umar juga pernah mendapat kritikan yang mengarah pada dugaan bahwa ia telah melakukan korupsi melalui kekuasaan yang ia miliki dan kritikan itu datang dari seorang Abdurahman bin ‘Auf “ hai Umar, aku tidak akan mendengar Khutbahmu sebelum engkau jelaskan tentang baju yang kamu pakai”, luar biasa umar menjawab dengan santun mengenai kritikan itu, yang membuat semua orang terpuaskan dengan jawabannya, padahal bisa saja Umar menghukum setiap orang yang mengkritik dan mencercanya dengan kekuasaan yang ia miliki, tapi Umar adalah pemimpin yang bijak yang memiliki sifat kultural yang baik, yang menempatkan kekuasaan adalah “amanah dan hukum adalah panglima untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan keadilan bagi setiap masyarakat. Umar juga seorang pemimpin yang tidah pernah kompromi dengan segala bentuk KKN, Umar menolak dengan tegas usulan para penasihatnya agar mengangkat salah seorang putranya untuk menjadi pejabat pada pemerintahan yang ia pimpin.

Pilkada dan Pemimpin yang Bersifat Kultural

Tak lama lagi, beberapa daerah di wilayah Propinsi Banten akan menyelenggarakan pesta demokrasi melalui ajang pemilihan Kepala Daerah di tingkat II yaitu Kota dan Kabupaten, dalam ajang ini akan muncul para calon yang diusung oleh partai-partai politik tertentu atau sebagai calon independen yang merupakan orang-orang baru bahkan incambent.

Para calon itu biasanya memaparkan visi dan misinya jika ia terpilih, dan dapat dipastikan mereka akan menebar janji-janji politik tentang kesejahteraan, pendidikan gratis, kesehatan gratis bagi warga tidak mampu dan segudang janji lainnya, yang biasanya tak sesuai dengan kenyataan ketika ia benar-benar memimpin kelak. Untuk itu setiap rakyat harus benar-benar dapat menguji dan mengukur untuk kemudian menentukan mana pemimpin yang memiliki sifat kultural mana yang tidak memiliki sifat kultural.

Ukuran-ukuran dasar dan penting untuk dapat menentukan bahwa seorang calon pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik adalah ia tidak memberikan suatu materi atau sejenis pemberian pada saat kampanye, terlebih memberikan sejumlah uang yang dikenal dengan “Serangan fajar”. Pemberian semacam ini, apapun bentuknya merupakan bentuk lain dari sogokan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi secara etimologis (corruptus atau corruptio) yang sesungguhnya ini juga merupakan pendidikan korupsi atau dengan kata lain rakyat sedang diajari untuk korupsi, yang pada gilirannya nanti ia akan memintanya kembali dari rakyat dalam bentuk pengkebirian terhadap hak-hak rakyat yang seharusnya ia penuhi dengan baik.

Calon-calon pemimpin yang memberikan sejumlah pemberian pada saat ia kampanye untuk mempengaruhi masyarakat pemilih biasanya tidak akan tahan terhadap kritikan apalagi cercaan, ia akan dengan senang hati dan jumawa untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghantam mereka yang mengkritik dan mencercanya, ia akan menjelma menjadi pemimpin yang cengeng dan tidak amanah.

Sudah saatnya setiap kita menjadi orang yang cerdas untuk mencari dan memilih pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik, yang menghendaki perubahan serta mencintai kebenaran dan keadilan, dan selalu memikirkan kepentingan rakyat yang dipimpin bukan mengedepankan kepentingannya sendiri atau kepentingan golongannya, pemimpin yang bersifat kultural akan berpijak pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bukan mengedepankan kekuasaan untuk menakut-nakuti rakyat, dengan pemimpin yang memiliki sifat kultural yang baik maka akan dapat dirasakan kesejahteraan dan keadilan dalam ridhoNYA, Insya ALLAH.




Read more!

Mewaspadai Anemia Demokrasi

Jika diperhatikan secara seksama, Indonesia merupakan negara yang tersibuk dalam penyelengaraan pesta demokrasi melalui ajang pemilu, pilkada, dan pilpres. Ajang ini pada masa orde baru hanya ditemui lima tahun sekali, itupun hanya pada ajang pemilihan umum (pemilu).

Dalam pesta demokrasi itu berlaku istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, yang jika dipersempit bisa menghasilkan pengertian “rakyatlah yang menentukan”. Pada konteks inilah kemudian para calon menyadari betapa pentingnya suara rakyat untuk meloloskan tekadnya menjadi pemimpin. Begitu pentingnya kesadaran akan suara rakyat yang menentukan sehingga tekadnya untuk menjdi pemimpin berjalan mulus sesuai dengan yang diinginkan, maka tak jarang perilaku-perilaku menyimpang dari para calonpun mulai dilakukan, hanya sekedar untuk mendapatkan suara rakyat atau dukungan rakyat. Pada fase inilah gejala “anemia demokrasi” mulai dirasakan.

Fase selanjutnya adalah ajang pembelian suara rakyat melalui bermacam imbalan, janji dan sebagainya yang pada akhirnya rakyat tak dapat menggunakan akal sehatnya untuk menentukan mana yang benar mana yang salah. Kondisi ini sangat bisa terjadi di tengah-tengah perekonomian rakyat yang sulit. Alasan ekonomi menjadi celah yang sangat besar bagi tingkat kecurangan dalam suatu pemilihan. Pada fase inilah “anemia demokrasi” telah menyebar, yang jika dibiarkan maka, akan terjadi “virus demokrasi” yang mematikan.

Untuk menghindari “anemia demokrasi” yang setiap saat dapat ditebarkan maka, perlu keberanian dari setiap masyarakat pemilih untuk menolak setiap perilaku-perilaku curang. Kesadaran itu perlu ada dan harus selalu tumbuh dalam diri setiap pemilih. karena calon-calon pemimpin yang memberikan sejumlah pemberian pada saat ia kampanye untuk mempengaruhi masyarakat pemilih, biasanya tidak akan tahan pada kritikan apalagi cercaan. Ia akan dengan senang hati dan jumawa untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghantam mereka yang mengkritik dan mencercanya, ia akan menjelma menjadi pemimpin yang cengeng dan tidak amanah.

Saya pikir sudah saatnya setiap kita menjadi orang yang cerdas untuk mencari dan memilih pemimpin yang baik, bertanggung jawab, yang selalu menghendaki perubahan serta mencintai kebenaran dan keadilan, yang selalu memikirkan kepentingan rakyat yang dipimpin, bukan mengedepankan kepentingannya sendiri atau kepentingan golongannya.

Kolektifitas Moral

Demi suksesi pesta rakyat melalui pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah dan juga pemilihan presiden maka, kesadaran akan moralitas secara kolektif merupakan syarat yang harus dipenuhi, kolektifitas moral dari selurh lapisan masyarakat merupakan vitamin yang harus ada untuk menciptakan energi positif bagi demokrasi yang sehat. Hanya melalui demokrasi yang sehatlah penataan pemerintahan yang baik yang berbasis kerakyatan akan mudah dilaksanakan.

Demokrasi yang sehat akan melahirkan pemerintahan yang sehat, dan pemerintahan yang sehat akan mampu menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan demokrasi yang tidak sehat akan melahirkan pemerintahan yang tidak sehat. Jika pemerintahannya tidak sehat maka, kesejahteraan masyarakat merupakan mimpi yang sulit untuk menjadi suatu kenyataan, sebab suatu demokrasi yang tidak sehat akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak amanah yang akan menghisap hak-hak masyarakatnya.

Penghisapan hak-hak masyarakat itu biasanya dilakukan melalui pelayanan publik yang jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Agar tidak terjadi proses penghisapan hak-hak masyarakat maka, tidak boleh lagi masyarakat melakukan hal-hal yang tidak terpuji dalam menyalurkan hak politiknya dalam ajang pemilihan umum, pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden.

Salah satu wujud moralitas yang baik adalah masyarakat harus mau dan mampu mengambil bagian secara baik dan benar akan hak politiknya, dengan menyalurkan aspirasinya melalui saluran-saluran yang benar tanpa harus mencari keuntungan sesaat, yang pada akhirnya merugi untuk jangka waktu yang panjang. Menurut Aristoteles bahwa mereka yang tidak mengambil bagian dalam hal hak politik berarti dia bukan manusia melainkan binatang ataupun dewa.

Kita tentu bukan kedua hal yang digambarkan Aristoteles tersebut, untuk itu kita harus mengambil bagian dalam politik yang merupakan hak kita, dan segala bentuk perilaku menyimpang yang mengakibatkan “anemia demokrasi” harus dihindarkan. Semoga kita menjadi masyarakat yang cerdas dan bermoral, yang selalu mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden merupakan pintu-pintu pembuktian bahwa kita memang cerdas dan bermoral.




Read more!

DEMOKRASI, ISLAM DAN FPI

Demokrasi secara maknawi dalam tataran bahasa adalah berasal dari kata “demos” dan “cratos”, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Dengan demikian berarti kedaulatan tertinggi berada sepenuhnya di tangan rakyat, oleh karenanya ruang kebebasan bagi rakyat dalam mengawasi pemerintahan mendapatkan tempat yang luas.

Konsekuensi logis dari sistem demokrasi adalah rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan arah kebijakan suatu pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, berdasarkan suara mayoritas tanpa menyampingkan suara minoritas.

Namun demikian kebebasan itu harus dibingkai dengan niulai-nilai hukum yang berlaku, sehingga tidak ada perbenturan antara hak yang satu dengan hak yang lainnya. Salah satu bentuk kebebasan itu ialah kebebasan berpendapat dan kebebasan dalam rangka menjalankan agama yang diyakini kebebarannya.

Islam sejauh yang saya kenal adalah Islam yang selalu merunut kepada “rahmatan lil ‘alamin”, yaitu rahmat bagi semesta alam, namun demikian “rahmatan lil ‘alamin”dalam pandangan Islam tentu harus dibingkai oleh nilai-nilai hukum berlandaskan Alqur’an dan Sunah sesuai yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam memahami tatanan demokrasi, Islam sangat menekankan pada musyawarah dalam mengambil suatu keputusan untuk kepentingan masyarakat secara luas, musyawarah itu sendiri dijalankan dengan tetap menghargai perbedaan-perbedaan, sepanjang perbedaan itu tidak merusak suatu akidah sesuai ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam telah menunjukkan arti suatu kebebasan beragama melalui Piagam Madinah yang menjadi sumber atau bukti yang tak dapat dibantah, betapa Islam memberikan ruang toleransi yang demikian besar terhadap agama selain Islam.

Dengan demikian maka, secara sistem Islam merupakan agama yang meletakkan dasar-desar demokrasi sebelum abraham Lincoln, josefh A. schmeter dan pakar-pakar yang lain merumuskan suatu konsep pemikiran mengenai apa itu demokrasi.

FPI dan Keberagaman Beragama

Jaminan atas kebebasan beragama menjadi bagian dari jaminan UUD 1945, yang harus dihormati oleh setiap elemen masyarakat bangsa Indonesia. Dengan penghormatan atas konstitusi kita tersebut maka, gesekan-gesekan terhadap pemahaman keagamaan tidak perlu menjadi friksi sosial yang pada akhirnya menjadi keretakan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apa yang dilakukan oleh FPI terhadap aliansi kekebasan beragama secara hukum tidak dapat dibenarkan, hukum mengatur seluruh kehidupan masyarakat tanpa terkecuali, pengaturan hukum tersebut bermuara pada tujuan hukum yaitu ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Di samping itu bahwa Islam yang saya kenal adalah ajaran yang membentangkan kedamaian. Musyarawarah (komunikasi) merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam dalam menyelesaikan persoalan.

Bentuk kekerasan dalam menyampaikan suatu persoalan bukan jalan yang dibenarkan baik secara hukum positif maupun berdasarkan ajaran Islam. Islam menegaskan bahwa dalam menyampaikan suatu kebenaran harus dengan jalan yang “ma’ruf”, bukan dengan kekerasan. Jalan kekerasan hanya akan membuat orang lari dari suatu kebenaran.

Pemerintah juga tidak boleh hanya menyalahkan FPI secara menyeluruh, karena kemarahan tersebut terindikasi oleh adanya ajaran yang dianggap sesat oleh elemen umat Islam yaitu ajaran Ahmadiyah. Secara demokrasi umat terbesar telah memberikan fatwa bahwa ajaran itu sesat, yang seharusnya pemerintah segera mengambil sikap sehingga tidak terjadi gejolak di tengah-tengah masyarakat.

Namun demikian FPI dan ormas Islam yang lain tidak boleh mengambil tindakan main hakim sendiri, karena sekali lagi negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan sehingga segala sesuatunya harus berjalan berdasarkan pijakan hukum yang berlaku. Segala bentuk tindakan melawan hukum harus dapat diberikan sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Read more!

DEMOKRASI DAN DEMONSTRASI ANARKIS

Demonstrasi atau yag lebih dikenal dengan aksi demo selalu menjadi pernik-pernik dalam iklim demokrasi, terlebih di alam reformasi yang terus bergulir bak bola salju. Setiap momen, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik hampir selalu diwarnai dengan aksi demo. Demonstrasi sesungguhnya bukan barang haram bagi dunia yang menganut sistem demokrasi. Aksi demo merupakan salah satu bentuk pengungkapan untuk menyampaikan pendapat. Penyampaian pendapat baik secara lisan maupun tulisan secara pribadi maupun kelompok merupakan hak asasi yang harus dihormati. Hal yang harus dipahami secara benar adalah demonstrasi merupakan upaya akhir ketika saluran-saluran demokrasi telah tersumbat.

Namun demikian aksi demo seyogyanya dilakukan secara damai, tetap dalam landasan etika dan tidak melangar norma-norma hukum yang berlaku. Aksi demo sesunguhnya tidak identik dengan perbuatan merusak. Karena inti dari aksi demo adalah menyampaikan pendapat dengan satu tujuan akan ada solusi atas apa yang menjadi permasalahan. Tidak jarang aksi demo yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau yang lazim disebut dengan anarkis justru tidak efektif dan ujung-ujungnya harus berhadapan dengan penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan atas segala tindakannya.

Hal yang menjadi persoalan yang menarik sekaligus memperihatinkan adalah tidak semua demo itu dilakukan secara murni bagi kepentingan rakyat sebagaimana yang didengung-dengungkan, karena tak jarang aksi ini justru telah ditumpangi kepentingan-kepentingan tertentu, yang secara politis tidak puas atas sesuatu yang terjadi. Sehingga pada akhirnya demo memiliki pergeseran nilai dan makna. Pergeseran inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya demo secara anarkis, di sisi lain aksi demo telah dijadikan ajang untuk mendapatkan penghasilan dan lambat laun aksi demo adalah bagian lain dari bisnis politik.

Demokrasi ataukah Mobokrasi

Demokrasi dapat diartikan sebagi sesuatu yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dengan demikian setiap tindakan dan cara pandang harus ditujukan untuk kepentingan rakyat, dengan kata lain rakyat menempati kedudukan yang sangat penting dalam setiap pengambilan keputusan oleh penguasa. Partisipasi rakyat secara aktif harus diberikan ruang yang luas dalam setiap pengambilan keputusan, karena pada akhirnya dalam sistem demokrasi segala tindakan penguasa harus dapat dipertanggungjawabkan pada rakyat. Dalam sistem demokrasi rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

Dengan pemahaman yang baik atas sistem demokrasi maka, perilaku-perilaku yang menyimpang dari demokrasi yang sesungguhnya tidak pelu terjadi, perilaku-perilaku menyimpang tersebut dapat dikategorikan sebagai mobokrasi yang dapat diartikan sebagai suatu tindakan anti demokrasi (mobokrasi lahir karena pemimpin yang tak memahami pemerintahan, sehingga melahirkan sistem demokrasi yang terburuk) . Bentuk-bentuk anti demokrasi dapat berupa tindakan-tindakan perusakan dan kekerasan dalam menyampaikan suatu pendapat.

Jika diperhatikan secara seksama, hampir setiap aksi demo yang dilakukan oleh elemen masyarakat dan mahasiswa sudah cenderung masuk dalam kategori mobokrasi atau anti demokrasi. Karena perilaku-perilaku menyimpang sering ditonjolkan dan menjadi warna yang khas bahkan dianggap lumrah dalam setiap aksi demo yang dilakukan.

Namun demikian, perilaku-perilaku menyimpang ini juga biasanya muncul akibat suatu keprustasian yang disebabkan pemegang kekuasaan tidak menjalankan tugasnya sesuai aturan yang seharusnya ditaati, yang kemudian terjadi penyimpangan-peyimpangan kekuasaan, dan penyimpangan kekuasaan itu tidak segera direspon oleh penegak hukum.

Lemahnya respon penegak hukum atas setiap bentuk penyimpangan kekuasaan mengakibatkan ketidakpercayaan atas hukum, yang pada akhirnya menciptakan tindakan-tindakan anarkis yang menjelma dalam aksi demo. Namun demikian tindakan anarkis harus dihindarkan dalam setiap aksi demo karena hal tersebut hanya akan menjadi stigma bagi demokrasi.




Read more!
 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent