
Demokrasi Bukan Mobokrasi
Tergelitik juga akhirnya saya untuk menulis, sebagai tanggapan atas apa yang dituliskan oleh Dedi Mufdi soal tanggapannya atas Polemik di Cilegon dengan tema Perubahan Dalam Demokrasi yang dimuat dalam surat kabar ini pada tanggal 17 Mei 2008.
Demokrasi secara sederhana dan gamblang dapat diartikan sebagai “sesuatu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk akyat”, jadi bukan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk penguasa”. Dengan demikian alur pemikiran yang positif menghendaki suatu perubahan adalah hal yang wajar atau dalam bahasa saya “buka barang haram”, karena dalam negara yang menganut sistem demokrasi segala bentuk aspirasi masyarakat untuk suatu perubahan harus mendapatkan tempat dan ruang yang sangat luas. Kritik merupakan untaian pernik-pernik demokrasi yang harus terus mengalir untuk menuju muara kemanfaatan bagi publik secara merata dan berkeadilan.
Demokrasi menempatkan rakyat pada posisi yang sangat penting dalam suatu pemerintahan, karena rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Segala tindakan penguasa harus dapat dipertangungjawabkan kepada rakyat, jadi publik berhak menilai mana perubahan-perubahan yang harus segera dilakukan. Rakyat berhak menilai dan meminta pelaksanaan pemerintahan yang baik, yang secara formal hak itu diakui di dalam konstitusi yaitu Undag-Undang Dasar 1945. Sementara pelaksanaan pemerintahan yang baik diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut mengatur prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang baik, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas, Dengan Pemahaman yang baik atas aturan-aturan ini maka, tidak perlu bingung dengan geliat aspirasi bagi sebuah perubahan yang dikehendaki oleh pemuda Cilegon, selama geliat aspirasi perubahan tersebut tidak melanggar aturan-aturan hukum.
Kenapa Harus Melalui Pilkada ?
Perubahan-perubahan mendasar menuju kearah yang lebih baik menurut hemat saya, tidak harus selalu menunggu Pilkada yang dilakukan lima tahun sekali. Perubahan bisa dilakukan pada saat kekuasaan sedang berjalan, misalnya dengan mengubah kebijakan-kebijakan yang tadinya tidak atau kurang pro rakyat menjadi kebijakan yang pro rakyat berdasarkan aspirasi rakyat, yang tentunya telah dievaluasi secara cermat dan benar.
Di sisi lain, apakah dengan menunggu Pilkada perubahan itu akan efektif terjadi, jika Pilkada tidak terbebas dari stigma-stigma demokrasi. Misalnya, pembagian benda-benda tertentu pada ibu-ibu pengajian sebelum dan pada saat Pilkada, money politic atau janji-janji kampanye yang tak ditepati setelah memegang kekuasaan dan lain sebagainya. Fenomena ini diberbagai daerah di Indonesia khususnya Banten menjadi hal yang lumrah.
Demokrasi yang dibangun dengan cara semacam ini, hanya akan melahirkan kekuasaan yang arogan dan jauh dari kepentingan masyarakat secara luas, yang pada akhirnya bukan menuju perubahan dalam demokrasi tapi perubahan demokrasi ke arah mobokrasi, yakni kekuasaan dijalankan oleh orang-orang yang tidak mengerti pemerintahan sehingga menghasilkan model demokrasi yang terburuk.
Model nyata dari arah mobokrasi misalnya pemimpin tak tahan pada kritik dan cenderung menggunakan kekuasaan untuk mengatasi kritik. Dalam sistem demokrasi yang baik maka apa yang dialami oleh Muhammad Tahyar tidak perlu terjadi, kekerasan fisik terhadap dirinya merupakan hal yang keliru dan melanggar hukum, karena penyampaian pendapat dalam sistem demokrasi merupakan hal yang harus dihormati terlebih pendapat itu disampaikan dalam diskusi ilmiah. Penyampaian pendapat dalam forum ilmiah “bukan barang haram”, karena dalam forum ilmiah penyampaian kebenaran harus terbebas dari segala bentuk kepentingan politik.
Jadi sekali lagi tidak perlu bingung selama geliat aspirasi menghendaki perubahan itu tidak melanggar hukum, Pilkada bukan satu-satunya pintu yang harus dituju untuk melakukan perubahan, kecuali Pilkada dilakukan sesuai aturan yang berlaku dan terbebas dari segala bentuk stigma demokrasi, dan akhirnya perubahan dalam demokrasi bukan menuju mobokrasi.
Demikian juga halnya dengan kehendak perubahan, keinginan perubahan itu tidak boleh berdasarkan pemikiran yang apriori dan subyektif, tapi harus didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang obyektif dan senatiasa demi kepentingan umum secara murni, bukan ditunggangi oleh kepentingan politik.
0 comments:
Post a Comment