More About Me...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc. Orci at nulla risus ullamcorper arcu. Nunc integer ornare massa diam sollicitudin.

Another Tit-Bit...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc.

KDRT MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM

I. I. Pendahuluan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan bagian khusus dari hukum pidana. Dikatakan khusus karena tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-undang ini tergolong masih baru. Lahirnya undang-undang ini berasal dari keperihatinan bangsa Indonesia atas maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang secara substansi tidak ada pengaturan secara khusus dalam KUHP sehingga masalah KDRT ini sulit untuk ditanganai secara hukum, di samping itu kesulitan-kesulitan dalam hal penangan KDRT juga timbul akibat pemahaman yang sempit yaitu masalah keluarga merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan.

Asumsi bahwa masalah keluarga tabu untuk dibicarakan terlebih hal tersebut harus mendapatkan penanganan hukum merupakan salah satu pendorong bagi timbulnya Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah tangga, pada hal ada sejumlah hak yang merupakan bagian dari hak hidup seseorang yang harus dihormati dan dilindungi, hak hidup ini juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Perlindungan atas hak tersebut merupakan hal yang semestinya dilakukan agar hak dan kewajiban dapat dijalankan secara berimbang, dalam kaitan ini Anonymous memaparkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia yang masih menganut paham ketimuran di mana rahasia rumah tangga pantang untuk diceritakan membuat sebagian korban tindak kekerasan dalam rumah tanga enggan melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga.[1]

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak selalu menempatkan perempuan sebagai korban, ada kalanya lelaki yang justru menjadi korban KDRT. Peraturan mengenai KDRT ini di dalam undang-undang juga mencakup bukan keluarga, mereka yang bekerja di dalam sektor rumah tangga juga menjadi bagian dari perlindungan undang-undang yang mengatur tentang KDRT.

Rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan KDRT, termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan seseorang terutama perempuan dan anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Jika diperhatikan dengan seksama maka, undang-undang mengenai KDRT, ini mencakup pelaku dan korban serta jenis-jenis tindak pidananya. Pelaku dan korban dalam KDRT menurut rumusan tersebut mengandung unsur-unsur “setiap orang dan dalam lingkup rumah tangga”. Unsur ini mencerminkan bahwa pelaku maupun korban dalam KDRT terdiri dari ayah, ibu, isteri, suami, anak, keponakan, sepupu, paman, mertua, majikan dan pembantu.

Jenis Tindak Pidananya sendiri dapat digolongkan dalam hal :[2]

a. Kekerasan Fisik, yaitu perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit seperti menampar, memukul, menjambak, mendorong, menginjak, melempari dengan barang, menusuk dengan benda tajam (pisau, pecahan kaca) bahkan membakar, adapun bentuk-bentuk terbagi menjadi Kekerasan Fisik Berat dan Kekerasan Fisik Ringan. Kekerasan Fisik Berat atau bisa disebut Dengan panganiayaan berat seperti menyundut, menendang, memukul, melakukan percobaan pembunuhan, atau pembunuhan atau perbuatan lain yang mengakibatkan luka berat, pingsan, menderita sakit lumpuh, kehilangan salah satu panca indera, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, matinya korban, terganggunya daya pikir selama 4 minggu atau lebih, luka berat pada tubuh korban dan/atau luka yang sulit disembuhkan dan/atau yang dapat menimbulkan bahaya mati, mendapat cacat, gugurnya atau matinya kandungan seoarang perempuan. Kekerasan Fisik Ringan berupa menampar, menjambak, mendorong dan lainnya yang mengakibatkan rasasakit dan luka tubuh yang tidak masuk dalam kategori berat, luka ringan. Kekerasan fisik ringan yang dilakukan secara berulang-ulang dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan fisik berat.

b. Kekerasan Piskis, seperti ucapan-ucapan yang menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan dan ancaman, ucapan merendahkan dan lain sebagainya. Kekerasan pisikis juga digolongkan dalam dua kategori yaitu, kekerasan psikis berat dan ringan. Kekerasan Fisik Berat, misalnya gangguan stres pasca trauma, depresi berat atau destruksi diri, gangguan funsi tubuh berat seperti lumpuh atau buta tanpa indikasi medis, gangguan tidur atau gangguan makan, ketergantungan obat, bunuh diri, gangguan jiwa. Kekerasan psikis ringan misalnya, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan, gangguan tidur atau gangguan makan, fobia, gangguan fungsi tubuh ringan seperti sakit kepala, ganguan pencernaan tanpa indikasi medis.

c. Kekerasan seksual, yaitu perkosaan, pemaksaan hubungan seks, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang mendahului, saat atau setelah hubungan seks, pemaksaan aktivitas seksual tertentu, pemaksaan hubungan sek dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Bentuk kekerasan seksual terbagi atas kekerasan seksual berat dan ringan. Kekerasan seksual berat, berupa pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan atau menyakitkan, pemaksaan seksual tanpa persetujuan korban, atau pada saat korban tidak menghendaki, pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa dan lain sebagainya. Kekerasan seksual ringan, gurauan porno, siulan, ejekan atau gerakan lain yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan atau menghina korban. Kekerasan seksual ringan jika dilakukan berulang-ulang termasuk kekerasan seksual berat.

d. Kekerasan Ekonomi, yaitu tidak memberikan kehidupan, nafkah, perawatan atau pemeliharaan bagi yang berada di naungan keluarga. Bentuk kekerasn ekonomi digolongkan ke dalam kekerasan ekonomi berat dan ringan. Kekeras ekonomi berat misalnya, tindakan ekpolitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi (misal, mengambil tanpa sepengetahuan dan persetujuan korban, merampas dan/atau memanipulasi harta benda korban, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif seperti pelacuran), kekerasan ekonomi ringan misalnya, melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

II. Faktor-Faktor Bagi terjadinya KDRT.

Suatu tindak pidana yang terjadi tidaklah dapat terjadi dengan sendirinya melainkan ada faktor peyebab terjadinya tindak pidana tersebut. Demikian juga halnya dengan tindak Pidana KDRT, ada beberapa faktor adanya perasaan dendam dan benci akibat tekanan yang dialami, tidak memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam secara benar, tidak terjalinnya hubungan harmonis dalam kehidupan berkeluarga, dan tidak adanya rasa saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lainnya.[3]

Sementara menurut pandangan orang-orang yang anti islam KDRT dipicu oleh ajaran Islam yang membolehkan pandangan poligami dan tindakan pemukulan dalam rangka pendidikan. Pandangan ini dengan tegas dibantah oleh Asri Supatmiati, menurutnya bahwa faktor KDRT di sebabkan oleh dua hal pertama, faktor individu yakni tidak adanya ketakwaan pada individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami isteri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’ termasuk melakukan tindakan KDRT. Kedua, faktor sistemik yaitu kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekuler yang memisahkan agama dan kehidupan.[4]

Faktor-faktor tersebut telah mendorong tingkat KDRT yang tinggi, paling tidak LBH APIK menyebutkan ada 83 Kasus KDRT selama empat bulan pertama tahun 2007 di wilayah Jakarta, sebagian besar kasus tersebut menempatkan perempuan sebagai korban yang dilakukan oleh suami. Kasus ini berakhir dengan perceraian (30), pidana (9) mediasi (6) dan Konsultasi Pernikahan (38).[5]

III. KDRT Dalam Pandangan Islam

Mengenai KDRT sesungguhnya bukan hal baru dalam perspektif agama Islam, karena hal-hal mengenai jenis dan saksi telah diatur dalam Alqur’an dan Hadist sebagai sumber hukum Islam yang harus menjadi pedoman bagi setiap umat Islam dalam menjalani hidup dan kehidupan, hal-hal berkenaan dengan KDRT dalam islam dijelaskan sebagai berikut:

1. Qodzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Saksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT “ dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali” (QS. An-Nur, 4-5).

2. Membunuh, yakni “menghilangkan” nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qhisos (hukuman mati) firman Allah SWT “diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS. Al Baqoroh, 179).

3. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya”. Sanksi hukumnya adalah ta’zir berupa hukuman yang bentuknya diserahkan kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.

4. Penyerangan terhadap anggota tubuh, saksi hukumnya adalah membayar diyat (100 ekor unta), tergantung pada tubuh yang disakiti. Penyerah terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata dan 1 kaki 50 ekor unta, luka yang sampai selaput batok kepala dan luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, luka pada gigi dan luka pada tulang hingga kelihatan 5 ekor unta.

5. Perbuatan-perbuatan cabul, seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran, kalau wanita itu berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga maka diberikan sanksi yang maksimal.

6. Penghinaan, jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi 4 tahun penjara.

IV. Penutup.

Sesunguhnuya masalah KDRT bukanlah hal yang baru, karena dalam hukum Islam hal tersebut telah diatur keberadaannya dalam Alqur’an dan AlHadist, sehingga apabila ini dijalankan dengan baik dan penuh keimanan kepada Allah maka KDRT tidak perlu terjadi.

Hal yang harus dipahami dengan baik adalah masalah KDRT bukan persoalan tabu untuk dibicarakan, karena itu menyangkut kepentingan hukum bagi setiap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga. Kepentingan hukum itu harus dapat dilindungi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan semua itu maka masalah KDRT bukan hanya menjadi masalah korban, maupun penegak hukum tetapi juga merupakan masalah semua orang.

Suatu penegakkan hukum tidak akan berjalan secara efektif jika tidak diikuti oleh kesadaran hukum yang baik yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Dengan kesadaran hukum yang baik diharapkan persoalan-persoalan mengenai KDRT akan secara cepat dapat ditangani dan diselesaikan.



[1] Tempo, 13 Mei 2007

[2] Fauzan muslim dkk, Penghapusan KDRT Perspektif Hukum Posistif dan Islam, PAHAM Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 1-7.

[3] Ibid, hlm,12

[4] Asri Supatmiati, Makalah, hlm.2

[5] Tempo, Op.Cit. tanggal 13 Mei 2007.



0 comments:

Post a Comment



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent