
Menuju Pendidikan Model Kolonial
Tempo dulu pendidikan di Indonesia hanya diperuntukan bagi sinyo-sinyo Belanda. Kalaupun ada dari golongan pribumi itu hanya bagi golongan ningrat. Pendidikan tak tak tersentuh oleh rakyat jelata. Kondisi ini memang disengaja oleh pemerintah penjajah agar bangsa Indonesia tetap bodoh dan setiap saat bisa dibodohi. Karena kebodohanlah bangsa Indonesia berada dalam cengkeraman kuku-kuku penjajah hampir tiga setengah abad lamanya.
Menyadari akan pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa maka, banyak gerakan-gerakan yang dilakukan oleh anak bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, yang pada akhirnya bangsa Indonesia dapat menikmati kemerdekaannya seperti sekarang ini. Namun ternyata kemerdekaan tidak memberikan kesempatan sepenuhnya bagi setiap warga negara untuk menikmati pendidikan yang berkualitas. Secara sadar ataupun tidak pendidikan telah kembali pada model-model kolonial dahulu, di mana pendidikan hanya dinikmati oleh mereka yang tergolong anak pejabat atau anak-anak konglomerat.
Pandangan tersebut tidaklah berlebihan karena pendidikan dewasa ini seolah telah berubah watak, yakni dari media pembelajaran menjadi media bisnis dengan label atau kemasan “menuju pendidikan yang berkualitas”. Demi label tersebut hampir dipastikan tidak ada sekolah unggulan yang murah, yang terjangkau oleh warga kelas tiga, sekalipun sekolah itu merupakan sekolah dengan predikat “Negeri”, ini menunjukkan bahwa pendidikan telah kembali pada sejarah kelam bangsa di masa-masa penjajah.
Rasanya tak berlebihan pula jika dahi saya agak berkerut lebih dalam dan panjang dari biasanya, ketika Banten Raya Post menurunkan berita pada tanggal 21 Juni 2008 dengan tema “Siswa SMAN Bayar Rp 2,2 juta”. Angka ini boleh jadi merupakan angka terendah bagi para “golek” (golongan ekonomi kuat), tapi angka ini merupakan angka yang fantastis bagi para “golemah” (golongan ekonomi lemah). Saya hanya bisa membayangkan betap perihnya hati para “golemah” ketika menghadapi kenyataan bahwa anaknya tak mungkin masuk sekolah-sekolah unggulan, betapapun mungkin ada kesempatan yang diberikan melalui “keterangan tidak mampu” dari pejabat setempat, tapi ini ada resiko psikologis bagi anaknya jika masuk sekolah unggulan.
Indikasi bisnis berlabel pendidikan bagi sekolah tercermin pada alokasi dana yang ada, misalnya biaya investasi, biaya operasional, biaya personal atau istilah-istilah lainnya yang sejenis. Kondisi ini tampak aneh jika dirunut dari tekad pemerintah untuk terus meningkatkan kecerdasan bangsa memalului paket pendidiakn murah bahkan gratis. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka, kedepan bangsa Indonesia akan memiliki persoalan baru yaitu sumber daya manusia yang terbatas, karena bangsa Indonesia telah merancang secara sistematis bagi “warga negara tanpa pendidikan” melalui pola-pola pendidikan kapitalis.
Pola-pola pendidikan kapitalis tersebut begitu kental terasa dan kasat mata untuk dilihat secara jelas, di mana pendidikan hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki tingkat perekonomian yang tingi. Sementara para “golemah”menikmati pendidikan kelas “emperan” yang sangat sulit melakukan persaingan sebagai penyedia SDM yang berkualitas.
Jangan Remehkan Pendidikan.
Salah satu ukuran bagi maju tidaknya suatu bangsa akan dilihat dari tingkat pendidikan masyarakatnya. Melalui dunia pendidikan para calon pelaku pembangunan dalam setiap bidang dipersiapkan. Jika peluang untuk mendapatkan kesempatan meraih pendidikan yang berkualitas itu sulit maka, itu artinya kita telah merancang keterpurukan suatu bangsa, oleh karena itu jangan remehkan pendidikan bangi anak bangsa.
Salah satu solusi terbaik agar kita terhindar dari persoalan meremehkan pendidikan maka, pemerintah harus mampu merancang pendidikan yang merakyat, yang tidak hanya pada tataran konseptual tapi harus faktual, yakni pendidikan murah yang benar-benar dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Untuk mencapai semua itu diperlukan komitmen dan tanggung jawab dari para pelaku pendidikan sehingga tidak ada lagi bisnis dalam pendidikan dengan alasan biaya operasional dan sebagainya, yang pada hakikatnya itu sudah dianggarkan oleh pemerintah. Jika ini tidak segera dilakukan maka, Indonesia dan Banten pada khususnya akan berjibaku dengan mimpi untuk mengejar Malaysia dalam hal pendidikan yang berkualiatas.
0 comments:
Post a Comment