More About Me...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc. Orci at nulla risus ullamcorper arcu. Nunc integer ornare massa diam sollicitudin.

Another Tit-Bit...

Lorem ipsum dolor sit amet, nisl elit viverra sollicitudin phasellus eros, vitae a mollis. Congue sociis amet, fermentum lacinia sed, orci auctor in vitae amet enim. Ridiculus nullam proin vehicula nulla euismod id. Ac est facilisis eget, ligula lacinia, vitae sed lorem nunc.

MEREFLEKSIKAN PENEGAKKAN HUKUM DI BANTEN GUNA MENYONGSONG TAHUN 2008

Tahun-tahun sebelum 2008 penegakkan hukum di Banten barangkali merupakan tahun yang suram. Segala persoalan hukum masih menyisakan ketidakadilan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kondisi ini kemudian menciptakan pelbagai protes dari masyarakat yang diwakili oleh mahasiswa dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan nasib penegakkan hukum di Banten.

Namun demikian gelombang protes itu masih belum mendapat perhatian yang serius dari para pihak terkait, segala keprihatinan masyarakat pada proses penegakkan hukum di Banten masih dalam kategori “ditampung” bukan pada kategori “ditindaklanjuti”, sehingga persoalan demi persoalan tidak berujung pada penyelesaian yang baik yang mencirikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

Guna menyongsong tahun 2008 dalam rangka penegakkan hukum yang baik di wilayah propinsi Banten, rasanya perlu sekali untuk melihat kembali kejadian-kejadian yang penting dalam hal penegakkan atau penerapan hukum di Banten yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Hal ini menjadi penting untuk menakar atau mengukur suatu keberhasilan penegakkan hukum di Banten.

Salah satu kejadian yang sangat penting bahkan tergolong luar biasa adalah terjadinya tindak kekerasan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana pencurian, yang pada akhirnya merenggut nyawa seseorang yang dituduh tersebut dan ironisnya hal itu terjadi pada saat pemeriksaan di kepolisian. Dalam pemeriksaan terhadap tersangka terkait kasus tindak pidana, tidak dibenarkan menggunakan sarana kekerasan untuk memperoleh pengakuan tersangka, karena jika ini dilakukan maka akan melanggar pasal 422 KUHP yang menegaskan bahwa “seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana, menggunakan sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Apabila sampai menimbulkan kematian hal itu dapat dijerat dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian dengan ancaman pidana paling lama 7 (tujuh) tahun penjara.

Penggunaan paksaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka menunjukkan masih digunakannya pengakuan sebagai alat bukti, padahal alat bukti pengakuan tersangka tidak lagi menjadi alat bukti yang sah, karena sudah diganti dengan alat bukti berupa keterangan, dan sifat keterangan adalah bebas tanpa paksaan. Melalui proses penerapan hukum dengan menggunakan alat pembuktian yang sah diharapkan pola-pola kekerasan tidak lagi terjadi di Banten. Sehingga Banten dengan sendirinya telah mewujudkan harapan Kapolri, bahwa kedepan polisi tidak boleh menggunakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Di samping kejadian tersebut, kita juga perlu untuk melihat penerapan hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, yang masih dirasakan menggunaka metode “pilih tebang” di mana penanganan tindak pidana korupsi baru menjangkau orang-orang tertentu saja, dan belum berani menjangkau mereka yang memiliki kekuasaan sehingga masih menampakkan diskriminasi. Itu pun, ganjaran bagi pelaku tindak pidana korupsi yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan masih terlalu ringan, jika dibandingkan dengan tuntutan bagi pencuri bawang di daerah Mancak yang beratnya tidak lebih dari sepuluh kilo.

Penjatuhan hukuman yang tak berkeadilan ini tidak perlu terjadi lagi karena dampak dari tindak pidana korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara saja tapi juga dapat merusak perekonomian masyarakat, dan yang mengakibatkan hak-hak kesejahteraan masyarakat jadi tergangu. Rasanya tidak layak kalau masyarakat Banten ada yang terpaksa harus makan “nasi aking” karena tidak mampu membeli beras, sementara APBD Banten termasuk sangat besar jika dibanding propinsi lainnya di Indonesia. Ketidaklayakan itu menjadi hal yang sempurna ketika seorang pejabat di lingkungan propinsi Banten menyatakan bahwa, “makan nasi aking adalah hal yang wajar , karena bagi masyarakat Banten itu merupakan kebiasaan”. Makan nasi aking merupakan hal yang wajar dan merupakan kebiasaan jika itu dilakukan oleh pejabat jadi makannya bukan karena keterpaksaan.

Tindak pidana korupsi di Banten juga sudah merusak dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng moral yang paling akhir. Merupakan hal yang sangat memalukan jika seorang pendidik kemudian tidak memiliki akhlak yang baik sehingga harus melakukan korupsi. Kondisi ini perlu segera diperbaiki, salah satu bentuk perbaikan itu adalah dengan jalan penerapan sistem penerimaan calon tenaga pendidik secara transparan, tidak diskriminatif, tidak melalui jalur titipan dan tidak menggunakan bentuk-bentuk suap. Perbaikan itu harus dilmuali dari pendidikan tingkat dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi.

Kasus yang tidak kalah pentingnya dari kedua hal tersebut adalah kasus raskin, yang sesungguhnya penanganannya masih belum mendapat perhatian yang serius dari para aparat terkait. Kasus raskin yang diselewengkan oleh pejabat negara, menurut saya dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi bukan hanya pidana biasa, karena telah merugikan keuangan negara, pelayanan publik tidak terpenuhi dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, jadi tidak cukup dengan penggunaan pasal-pasal tertentu dalam KUHP. Dengan penanganan dan perhatian yang serius dalam hal pembagian jatah beras bagi orang miskin, oleh aparat terkait diharapkan pengentasan kemiskinan tidak lagi sebagai basa basi belaka.

Kerja Keras Semua Pihak

Untuk mewujudkan Banten yang taat hukum maka perlu kerja keras semua pihak, karena pada dasarnya penegakkan hukum bukan hanya merupakan tanggung jawab para penegak hukum, tetapi juga merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat.

Tanpa peranserta yang aktif dan positif dari masyarakat maka hukum akan sulit menjadi kenyataan ditengah-tengah masyarakat, karena hukum sulit menjadi kenyataan di tengah-tengah masyarakat, maka hukum juga akan sulit mewujudkan tujuannya yaitu menciptakan kesejahteraan melalui keadilan dan ketertiban yang harus diselengarakannya.

Untuk itu maka peran serta masyarakat perlu terus diupayakan dalam penegakan hukum melalui konsep keseimbangan hak dan kewajiban. Masyarakat Banten akan memiliki kesadaran hukum yang baik, jika pengetahuan hukum yang merupakan haknya juga dipenuhi yaitu melalui penyuluhan-penyuluhan hukum yang berkelanjutan, dan hak itu merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memenuhinya.

Hak masyarakat juga harus diberikan bagi mereka yang ikut berperanserta dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu hak perlindungan dan hak penghargaan yang selama ini tidak diberikan oleh penegak hukum dengan alasan undang-undangnya tidak ada, ini ironis karena hal itu terluncur dari penegak hukum dalam seminar di fakultas hukum UNTIRTA dalam menjawab pertanyaan terkait hak seorang saksi ahli. Pada hal hak-hak itu tercantum dalam pasal 41 ayat 2 huruf e Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-unang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan PP No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, di mana dalam pasal 7 ditegaskan bahwa ”setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, yang telah berjasa dalam usaha pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan”. Bentuk penghargaan ini berupa piagam dan premi yang besarnya 2 per mil dari kekayaan negara yang dikmbalikan (Ronny Rahman Nitibaskara, 2006:11).

Dengan hak dan kewajiban secara berimbang maka setiap masyarakat akan dapat memberikan peransertanya dalam dunia penegakkan hukum di Banten pada khususnya. Akan tetapi kesadaran hukum masyarakat merupakan elemen ketiga dalam penegakkan hukum, yaitu setelah undang-undang yang baik dan penegak hukum yang baik, dan hal yang terpenting dalam penegakkan hukum adalah prilaku penegak hukum. Penegak hukum yang memiliki prilaku yang baik merupakan panutan bagi masyarakat sehingga masyarakat akan bercermin dari penegak hukumnya dalam rangka penegakkan hukum, yang pada akhirnya masyarakat akan percaya pada hukum itu sendiri. Jadi untuk menyongsong tahun 2008 bagi penegakkan hukum di Banten harus dimulai dari aparat penegak hukumnya yang kemudian mengajak masyarakat untuk ikut berperanserta dalam penegakan hukum di Banten dengan kosep keseimbangan hak dan kewajiban, serta dengan melakukan pembinaan yang kontinyu dan konsisten bagi setiap aparat penegak hukum.

0 comments:

Post a Comment



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent