
Bangsaku Tertidur?
Ibarat makhluk hidup bangsaku tengah tertidur pulas dan tengah menikmati mimpi yang panjang. Mimpi tentang pendidikan yang berkualitas, mimpi tentang teknologi, mimpi tentang kemakmuran, mimpi tentang keadilan dalam penerapan hukum dan sebagainya.
Saking lelapnya mimpi itu seolah tak berujung, padahal mimpi itu akan menjadi suatu kenyataan jika kita mampu menghargai ilmu dan keilmuan. Segala keterpurukan yang ada salah satu penyebabnya adalah kurangnya penghargaan terhadap ilmu. Kita dapat melihatnya dengan jelas ketika suatu penempatan sumber daya manusia dalam segala bidang hampir diwarnai dengan tingkat KKN yang tinggi, sehingga keilmuan yang dimiliki oleh seseorang tidak dijadikan acuan.
Hal yang paling memprihatinkan adalah adanya asumsi dari seorang mahasiswa yang menganggap kualitas pendidikan adalah tidak penting, karena yang terpenting adalah seberapa luas punya “hubungan” atau koneksi dengan orang-orang yang memiliki pengaruh pada bidang-bidang tertentu yang strategis.
Lebih miris lagi jika para pelaku pendidikan justru menjadikan keilmuannya sebagai ladang bisnis untuk mendapatkan secuil materi secara tidak halal. Misalnya, dengan memberikan bantuan-bantuan tertentu non prosedural terhadap mahasiswa atau anak didiknya, yang sesungguhnya merupakan pencederaan terhadap nilai-nilai akademis, yang mana nilai-nilai akademis itu seharusnya menjadi bagian terpenting dan tak terpisahkan dari seorang pelaku pendidikan.
Kalau kondisi ini terus dipertahankan maka, akan terlahir para sarjana yang tak berpendidikan, atau akan melahirkan generasi muda yang tak berilmu, sekalipun secara formal mereka pernah melakukan kegiatan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan.
Kondisi ini ternyata telah diperburuk oleh sikap pemerintah yang masih ogah untuk meningkatkan harkat dan martabat guru dan dosen. Sekalipun ada program sertifikasi tapi program tersebut dalam tataran konkret masih banyak persoalan-persoalan mendasar, misalnya belum dibayarnya hak-hak pascasertifikasi.
Perubahan Paradigama
Melihat kondisi-kondisi tersebut, perlu perubahan-perubahan paradigma dari para pelaku pembangunan dan para pelaku pendidikan. Perubahan paradigma itu misalnya dapat dilakukan dengan suatu ketegasan bahwa, nilai-nilai akademis tidak dapat diganti dengan nilai-nilai non akademis.
Begitu juga pada sektor-sektor lain yang menggunakan jasa tenaga kerja yang terampil dan berwawasan maka, keilmuan menjadi satu syarat bagi penempatan seseorang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Budaya penghargaan terhadap ilmu harus terus menerus dikembangkan dan diberdayakan, dengan demikian diharapkan bangsa ini terbangun dari mimpi panjangya.
Perubahan budaya tersebut menurut Suriasumantri bahwa, pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir, berperan sebagai obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan zaman batu dulu sampai kepada komputer hari ini, (M.Solly Lubis, 1994:5).
Jadi dengan perubahan paradigma di mana pengetahuan yang dimiliki dipahami sebagai produk kegiatan berpikir, yang kemudian dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup melalui penerapan pengetahun tersebut sesuai dengan bidangnya masing-masing maka, persoalan-persoalan yang melilit bangsa ini akan mudah di atasi.
Dengan pola pemahaman tersebut bangsa Indonesia tidak hanya pandai sebagai pengekspor TKI ke luar negeri tetapi akan mampu menjadi pengekspor produk-produk hasil pemikiran anak bangsa. Kita mesti belajar dari China dan Korea yang mampu mengimbangi negara-negara yang maju, dan salah satu kuncinya adalah menghargai ilmu dan keilmuan bagai pengembangan pembangunan di segala bidang yang dirancang oleh negara.
Untuk itu penghargaan terhadap ilmu harus mampu diimplemetasikan pada setiap bidang kehidupan agar anak bangsa menjadi tuan di rumahnya, dan segala bentuk KKN dipersempit dan dihapus dari segala ranah yang ada.
0 comments:
Post a Comment